KABARSEKILAS.COM – Polemik terkait pencoretan 1.746 tenaga honorer (PTT-GTT) di lingkungan Pemerintah Kota (Pemkot) Probolinggo akhirnya mulai menemukan titik terang.
Setelah sekian lama terkatung-katung, nasib ribuan tenaga honorer Pemkot Probolinggo ini semakin jelas, meskipun kenyataan yang mereka hadapi begitu pahit.
Pencoretan mereka dari data Badan Kepegawaian Negara (BKN) diduga kuat akibat lemahnya koordinasi antara Badan Kepegawaian Daerah (BKD) Kota Probolinggo dengan pimpinan kota, termasuk Wali Kota dan Sekretaris Daerah (Sekda) Kota Probolinggo.
Kisruh ini terungkap dalam rapat Paripurna Panitia Khusus (Pansus) PPPK DPRD Kota Probolinggo yang digelar pada Sabtu malam, 2 November 2024.
Rapat maraton yang berlangsung hingga dini hari ini dihadiri oleh Sekda Ninik Ira Wibawati, mantan Kepala BKD Pemkot Probolinggo Wahono, beberapa pejabat OPD, serta perwakilan tenaga honorer dari berbagai OPD di Probolinggo.
Kekecewaan Tenaga Honorer Membuncah di Depan Gedung DPRD
Di luar gedung DPRD, puluhan tenaga honorer yang tidak diundang secara resmi dalam sidang tetap berkumpul, menyampaikan aspirasi dan tuntutan mereka.
Beberapa di antara mereka membawa poster-poster dengan tulisan keras yang mempertanyakan kebijakan BKD.
“Password akun yang diminta itu dasarnya apa? Dan untuk apa sehingga kami tidak masuk database!!” tulis salah satu poster.
Mereka menuntut kejelasan mengapa data mereka bisa tidak masuk di database BKN, yang mengakibatkan hilangnya peluang mereka untuk menjadi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK).
Salah satu tenaga honorer yang hadir di sana adalah Aris, seorang honorer di Satpol PP Kota Probolinggo yang sudah mengabdi sejak 2005.
Aris bercerita bahwa pada 2024, BKD meminta mereka membuat akun untuk verifikasi data.
Namun, setelah menyerahkan kata sandi akun tersebut ke BKD, ia dan rekan-rekannya justru tidak lagi bisa mengakses akun mereka, tanpa penjelasan yang memadai.
“Kami tidak diberi penjelasan apa-apa. Saat ada teman yang mencoba menanyakan, mereka malah diminta pulang begitu saja tanpa jawaban,” ungkap Aris.
Ia, bersama tenaga honorer lainnya, kini mendesak agar BKD segera bertindak agar data mereka dapat kembali masuk ke database BKN dan mereka mendapatkan Nomor Induk Pegawai (NIP) sebagai jaminan untuk menjadi PPPK.
Penjelasan BKD yang Diragukan oleh Dewan
Ekik, seorang anggota tim verifikator dari BKD, mencoba menjelaskan bahwa permintaan kata sandi tersebut bertujuan untuk membantu menyimpan data, terutama bagi tenaga honorer yang sering kali lupa password.
Namun, alasan ini justru menimbulkan banyak tanda tanya di kalangan DPRD dan tenaga honorer.
Penjelasan ini dianggap tidak logis dan tidak menjawab inti persoalan oleh sebagian besar peserta rapat.
Eko Purwanto, salah satu anggota Pansus PPPK DPRD Kota Probolinggo, menilai bahwa BKD telah bertindak tanpa koordinasi dengan pimpinan.
Menurutnya, BKD membuat kebijakan sepihak yang tidak hanya merugikan tenaga honorer tetapi juga mencerminkan kurangnya koordinasi dan transparansi dalam pengambilan keputusan.
“Ini jelas kesalahan BKD yang tidak melakukan koordinasi dengan pimpinan. Mereka memutuskan verifikasi ulang sendiri, padahal pada 2022 ada 2.010 tenaga honorer yang sudah terdata. Hanya 280 orang yang akhirnya masuk ke database BKN. Ini kesalahan besar yang tidak boleh diabaikan,” ujar Eko dengan nada tegas dalam rapat tersebut.
Mosi Tidak Percaya dari Tenaga Honorer dan DPRD
Rangkaian kejadian ini memunculkan mosi tidak percaya dari para tenaga honorer dan sebagian anggota DPRD Kota Probolinggo terhadap BKD.
Mereka merasa BKD telah lalai dalam menjalankan tugasnya, bahkan tidak memberikan penjelasan atau bantuan ketika tenaga honorer meminta klarifikasi.
Kekecewaan ini semakin mendalam karena para tenaga honorer, yang telah lama mengabdi dan berharap bisa menjadi PPPK, kini kehilangan kesempatan mereka akibat kesalahan administrasi.
Para tenaga honorer berharap Pemkot Probolinggo dapat segera mengambil kebijakan yang tepat untuk mengembalikan mereka ke dalam database BKN.
Mereka khawatir jika masalah ini dibiarkan berlarut-larut, hak mereka untuk diangkat sebagai PPPK akan hilang selamanya.
Kini, seluruh mata tertuju pada langkah Pemkot Probolinggo dalam menindaklanjuti masalah ini.
Apakah ribuan tenaga honorer yang telah mencurahkan tenaga dan dedikasinya bertahun-tahun akan mendapatkan hak mereka?
Ataukah kisah mereka berakhir sebagai korban kesalahan administrasi yang dianggap sepele oleh sebagian pihak?
Para tenaga honorer tetap berharap akan keadilan, namun waktu terus berjalan.
Mereka menanti adanya kebijakan yang berpihak pada nasib mereka, agar jerih payah yang mereka lakukan selama ini tidak sia-sia.